Ragam Budaya
Kontroversi tentang Mengubah Istilah “Prasejarah” Hingga Menjadikannya Lebih Glorifikasi Menyebabkan Arkeolog Mundur dari Tim Penulisan Ulang Sejarah
Memahami perdebatan tentang penggantian nama “pra-sejarah” mengungkapkan ketegangan mendalam dalam narasi sejarah, mendorong arkeolog untuk mempertimbangkan kembali peran mereka dalam menulis ulang sejarah. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Saat kita menyelami perdebatan yang sedang berlangsung mengenai istilah “prasejarah,” kita menemukan diri kita di persimpangan yang menantang pemahaman kita tentang narasi sejarah. Usulan untuk mengganti istilah “prasejarah” dengan “sejarah awal” telah memicu diskusi yang signifikan di kalangan cendekiawan, terutama terkait implikasi terminologi terhadap pemahaman kita tentang masa lalu. Istilah ini telah menjadi landasan studi arkeologi dan sejarah selama lebih dari dua abad, dan kemungkinan penggantiannya menimbulkan pertanyaan tentang motif di balik perubahan tersebut.
Kritikus terhadap terminologi baru ini, termasuk arkeolog terkemuka Profesor Harry Truman Simanjuntak, berargumen bahwa perubahan ini bertentangan dengan konsensus akademik yang telah mapan. Ia berpendapat bahwa menandai periode yang mendahului catatan tertulis sebagai “sejarah awal” tidak hanya salah representasi terhadap sifat zaman tersebut, tetapi juga menciptakan kesalahan epistemologis yang dapat mengaburkan pemahaman kita tentang budaya kuno.
Ketika kita mengubah bahasa yang kita gunakan untuk mendeskripsikan masa lalu, kita berisiko mengubah narasi yang membentuk identitas kolektif kita. Perdebatan ini sangat relevan dalam konteks sejarah Indonesia yang kaya dan kompleks. Interpretasi yang berbeda terhadap masa lalu bangsa ini menunjukkan potensi konsekuensi dari mengubah istilah yang sudah mapan.
Dengan menyebut “prasejarah” sebagai “sejarah awal,” kita mungkin secara tidak sengaja meremehkan pentingnya praktik budaya dan tradisi lisan yang ada jauh sebelum adanya dokumentasi tertulis. Perubahan semacam ini dapat menyebabkan narasi yang condong ke satu perspektif dan mengabaikan keberagaman pengalaman manusia yang sebenarnya sangat beragam.
Selain itu, implikasi dari perubahan terminologi ini melampaui ranah akademik; mereka dapat memengaruhi persepsi masyarakat umum terhadap budaya kuno. Jika kita mengadopsi istilah yang menyiratkan kontinuitas sejarah di mana mungkin terdapat celah, kita berisiko mengabaikan kompleksitas dan kekayaan pengalaman manusia.
Narasi yang kita bangun tentang masa lalu berperan penting dalam membentuk identitas dan pemahaman kita tentang posisi kita di dunia. Saat kita terlibat dalam diskusi kritis ini, kita harus tetap waspada terhadap bahasa yang kita gunakan.
Terminologi bukan sekadar masalah semantik; ia membawa bobot dan makna yang dapat membentuk narasi sejarah dan mempengaruhi diskursus akademik. Kita berutang kepada diri kita sendiri dan kepada mereka yang mendahului kita untuk mendekati perdebatan ini secara penuh perhatian. Dengan melakukan hal tersebut, kita dapat memastikan bahwa pemahaman kita tentang sejarah tetap seluas dan sedalam budaya yang ingin diwakilinya.