Connect with us

Lingkungan

Ternyata Badan Air Surabaya-Sidoarjo Memiliki Hak Guna Usaha, Berikut Penjelasan Lengkapnya

Fakta mengejutkan tentang kawasan perairan Surabaya-Sidoarjo yang memiliki hak guna bangunan memunculkan pertanyaan penting. Apa implikasinya bagi lingkungan dan masyarakat lokal?

surabaya sidoarjo water rights

Kami telah menemukan bahwa badan air Surabaya-Sidoarjo memiliki status HGB yang mencakup area seluas 656 hektar, memicu debat hukum dan lingkungan yang penting. Area tersebut bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi dan peraturan lokal, menimbulkan kekhawatiran tentang keabsahannya. Nelayan lokal khawatir tentang dampak potensial terhadap mata pencaharian dan ekosistem mereka. Pejabat telah menyatakan bahwa penerbitan HGB di area laut dilarang, menyoroti perlunya transparansi dalam pengelolaan tanah. Untuk mengambil keputusan yang tepat tentang pembangunan berkelanjutan, kita harus melibatkan masyarakat yang terdampak dan pemangku kepentingan. Jelajahi lebih lanjut untuk memahami implikasi ini bagi lingkungan dan tata kelola lokal.

Penemuan Area HGB

Saat kita mengeksplorasi area Hak Guna Bangunan (HGB) di wilayah laut Surabaya-Sidoarjo, penting untuk mencatat temuan signifikan yang muncul dari penyelidikan ini.

Kami mengidentifikasi total 656 hektar yang diklasifikasikan sebagai HGB, dikonfirmasi melalui aplikasi Bhumi dan Google Earth. Koordinat spesifik menandai area ini, yang menimbulkan pertanyaan menarik tentang karakteristik dan dampak lingkungannya.

Area HGB, yang terletak di lingkungan laut, menghadirkan tantangan unik. Saat kita mempertimbangkan implikasinya, kita harus mengakui keseimbangan halus antara pembangunan dan pelestarian lingkungan.

Penemuan yang diinisiasi oleh Thanthowy Syamsuddin, seorang dosen dari Universitas Airlangga, didorong oleh laporan kasus HGB serupa di Tangerang, yang menyoroti pola yang lebih luas dalam hak penggunaan tanah.

Minat publik telah meningkat, dengan lebih dari 227,000 tayangan pada sebuah postingan media sosial yang viral yang mendetailkan temuan kami. Tingkat keterlibatan ini menekankan pentingnya memahami dampak lingkungan yang terkait dengan klasifikasi HGB.

Saat kita melanjutkan, sangat penting untuk mempertimbangkan bagaimana temuan ini mempengaruhi ekosistem lokal dan potensi untuk pembangunan berkelanjutan di wilayah Surabaya-Sidoarjo.

Implikasi Hukum dan Regulasi

Penemuan 656 hektar Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan Surabaya-Sidoarjo menimbulkan tantangan hukum dan regulasi yang signifikan yang tidak dapat diabaikan.

Pertama-tama, situasi ini menimbulkan dampak hukum serius karena potensi pelanggaran terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi No. 85/PUU-XI/2013, yang melarang penggunaan lahan di area laut. Selain itu, status HGB bertentangan dengan Peraturan Daerah No. 10/2023, yang ditujukan untuk perikanan, sehingga mempersulit setiap upaya pengembangan komersial atau residensial.

Kita juga harus mempertimbangkan deklarasi Menteri Kelautan dan Perikanan bahwa sertifikat HGB yang dikeluarkan di atas area laut adalah ilegal menurut regulasi yang ada, terutama PP 18, yang membatalkan sertifikasi di bawah air.

Karena HGB yang teridentifikasi berada dalam yurisdiksi Sidoarjo, kita menghadapi tugas kritis untuk pemetaan geografis dan administratif yang akurat untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi.

Penyelidikan yang sedang berlangsung oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) menekankan perlunya transparansi dalam pengelolaan tanah, terutama saat mereka berusaha untuk memperjelas hubungan antara klaim nelayan lokal dan kepemilikan HGB.

Pada akhirnya, situasi ini memerlukan pemahaman menyeluruh tentang kerangka hukum yang ada untuk menavigasi kompleksitas yang akan datang.

Respon Komunitas dan Pemerintah

Reaksi komunitas terhadap penemuan 656 hektar Hak Guna Bangunan (HGB) di perairan Surabaya-Sidoarjo telah ditandai oleh campuran kekhawatiran dan tuntutan akan pertanggungjawaban.

Seiring berlangsungnya diskusi, kita tidak bisa mengabaikan kekhawatiran mengenai hak atas tanah dan implikasi lingkungan dari alokasi besar seperti itu. Nelayan lokal, khususnya, menyuarakan kecemasan mereka tentang bagaimana HGB mungkin membahayakan mata pencaharian mereka dan ekosistem pesisir.

Dari pihak pemerintah, Gubernur Jawa Timur Adhy Karyono telah menyatakan bahwa penerbitan HGB di area laut adalah tidak diperbolehkan, menekankan bahwa otoritas lokal bertugas mengelola ruang-ruang ini untuk tujuan industri dan keanekaragaman hayati.

Walikota Eri Cahyadi lebih lanjut menjelaskan bahwa area HGB berada di bawah yurisdiksi Sidoarjo, bukan Surabaya, dan menegaskan kembali komitmen kota dalam melestarikan ruang terbuka hijau.

Namun, ada kebutuhan mendesak akan transparansi tentang kepemilikan HGB dan pengelolaan tanah, karena aplikasi Bhumi saat ini kekurangan informasi penting tentang pemilik sebenarnya.

Seruan komunitas untuk pertanggungjawaban yang jelas dari pemerintah menyoroti keinginan kolektif kita untuk pengelolaan sumber daya maritim dan hak tanah yang bertanggung jawab.

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Lingkungan

Gubernur DKI Jakarta Menanam Mangrove di Jakarta Utara

Saya menyaksikan sebuah acara luar biasa di mana Gubernur DKI Jakarta menanam bakau, tetapi apa yang terjadi selanjutnya benar-benar menginspirasi masyarakat.

gubernur menanam pohon bakau

Pada tanggal 20 April 2025, kami menjadi saksi langkah penting menuju konservasi lingkungan ketika Gubernur Pramono Anung memimpin acara penanaman mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk di Jakarta Utara. Acara ini menandai perayaan Hari Bumi yang penuh haru, dan bersama-sama, kami menanam sebanyak 7.500 bibit mangrove, khususnya dari spesies Rhizophora. Ini adalah hari yang penuh dengan tujuan, dan kami bisa merasakan energi kolektif masyarakat berkumpul di sekitar tujuan yang mempengaruhi kita semua.

Gubernur Pramono menekankan peran penting dari penanaman mangrove secara rutin, mendorong setiap dari kita untuk terlibat. Dia menekankan bagaimana partisipasi kita dapat meningkatkan secara signifikan ekosistem pesisir sambil melawan perubahan iklim. Manfaat mangrove, seperti yang kami pelajari hari itu, melampaui pohon itu sendiri. Mereka berfungsi sebagai penghalang alami, melindungi pantai kita dari erosi dan meredam dampak badai. Selain itu, ekosistem vital ini menyediakan habitat untuk berbagai jenis satwa liar, memastikan keseimbangan biodiversitas lokal kita.

Inisiatif ini bukan hanya usaha pemerintah; itu termasuk kolaborasi dengan organisasi seperti Badan Riset dan Inovasi (BRIN) dan Ikatan Alumni SMAN 1 Boedoet Jakarta. Kemitraan ini menunjukkan kekuatan keterlibatan masyarakat dalam konservasi lingkungan. Sangat menginspirasi melihat orang-orang dari segala usia datang bersama dengan tujuan bersama, membuktikan bahwa kita semua dapat berkontribusi pada kesehatan planet kita.

Saat kami menggali tangan kami ke dalam tanah yang subur dan menempatkan bibit-bibit itu ke rumah baru mereka, kami merasakan koneksi yang tak terbantahkan dengan bumi. Setiap pohon yang ditanam mewakili komitmen untuk masa depan yang lebih hijau, bukan hanya untuk kita tetapi juga untuk generasi yang akan datang. Acara tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa tindakan kita, sekecil apapun, dapat mengarah ke perubahan yang signifikan. Dengan terlibat secara kolektif dalam inisiatif semacam ini, kita dapat membina komunitas yang menghargai dan melindungi lingkungan kita.

Penanaman mangrove di Hutan Lindung Angke Kapuk bukan hanya simbolis; itu adalah seruan untuk bertindak. Ini menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat yang berkelanjutan dalam upaya lingkungan dan manfaat nyata yang datang dari perlindungan sumber daya alam kita.

Saat kami meninggalkan acara tersebut, kami membawa bukan hanya kepuasan telah menanam pohon tetapi juga rasa tujuan yang diperbarui untuk membela planet kita. Bersama-sama, kita bisa membuat perbedaan, dan saatnya kita menerima peran kita sebagai penjaga bumi.

Continue Reading

Lingkungan

Krisis Pagar Pantai, Pelajaran Berharga untuk Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Ini

Mengelola sumber daya pesisir membutuhkan penilaian ulang yang mendesak; krisis tersebut mengungkapkan masalah yang lebih dalam yang menantang keberlanjutan dan kesetaraan di komunitas lokal. Apa yang akan dilakukan selanjutnya?

coastal fence crisis lessons

Saat kita menggali krisis pagar pesisir di Tangerang, menjadi jelas bahwa masalah ini bukan hanya tentang penghalang fisik; ini mewakili perjuangan yang lebih luas untuk akses dan hak di antara nelayan lokal. Dengan panjang 30,16 kilometer, pagar ini telah secara drastis membatasi rute penangkapan ikan, menyebabkan kerugian ekonomi diperkirakan Rp 9 miliar dalam hanya tiga bulan. Situasi ini menyoroti pertanyaan kritis tentang hak-hak nelayan, menyoroti betapa pentingnya bagi komunitas lokal untuk mempertahankan mata pencaharian dan identitas budaya mereka di tengah pembangunan yang merambah.

Pemasangan pagar, yang dilakukan tanpa lisensi yang diperlukan, memicu kekhawatiran mengenai tata kelola dan kepatuhan regulasi. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) harus serius menangani kekurangan ini. Ketika keputusan diambil tanpa konsultasi yang memadai dengan yang terdampak, ini menunjukkan pengabaian yang mencolok terhadap masukan komunitas dan kepemilikan lingkungan.

Kurangnya pengawasan ini tidak hanya mengancam nelayan lokal tetapi juga mengganggu keseimbangan ekologis yang lembut yang memelihara ekosistem laut. Studi awal menunjukkan bahwa pagar telah menyebabkan penurunan populasi ikan, udang, dan kerang, mempengaruhi tidak hanya kedudukan ekonomi nelayan secara langsung tetapi juga membahayakan kesehatan jangka panjang biodiversitas laut.

Situasi ini genting; seiring berkurangnya perikanan lokal, begitu pula warisan budaya yang terkait dengan perairan ini. Kita tidak bisa mengabaikan keterkaitan antara kesehatan lingkungan dan kesejahteraan komunitas. Kebutuhan nelayan skala kecil tidak boleh terabaikan oleh usaha kapitalis yang mengutamakan keuntungan daripada manusia dan alam.

Lebih lanjut, krisis ini merupakan contoh ketidaksetaraan struktural yang tertanam dalam sistem tata kelola kita. Ketegangan berkelanjutan antara komunitas pesisir, otoritas pemerintah, dan perusahaan swasta mengungkapkan kebutuhan mendesak untuk praktik pengelolaan pesisir terpadu yang lebih baik. Praktik-praktik ini harus mengutamakan keberlanjutan ekologis dan kesetaraan sosial, memastikan bahwa suara nelayan lokal didengar dan dihormati dalam proses pengambilan keputusan.

Saat kita merenungkan krisis pagar pesisir, kita harus mengakui bahwa perjuangan untuk hak-hak nelayan secara intrinsik terkait dengan perjuangan yang lebih luas untuk keseimbangan ekologis. Kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk menganjurkan perubahan yang memberdayakan komunitas lokal dan melestarikan sumber daya alam kita.

Hanya dengan demikian kita dapat mendorong masa depan di mana manusia dan alam dapat berkembang bersama, memastikan bahwa wilayah pesisir kita tetap hidup dan tangguh untuk generasi yang akan datang. Bersama-sama, kita dapat memperjuangkan penyebab mereka yang telah termarginalisasi dan bekerja menuju kerangka kerja yang lebih adil untuk pengelolaan sumber daya.

Continue Reading

Lingkungan

Reaksi Komunitas terhadap Keputusan Denda oleh Kepala Desa Kohod

Bagaimana kemarahan komunitas atas denda besar terhadap Kepala Desa Kohod akan membentuk pertanggungjawaban dan pengelolaan lingkungan di wilayah mereka? Ikuti terus untuk wawasan lebih lanjut.

community reactions to fines

Seiring dengan ekspresi ketidakpuasan dari anggota komunitas, pemberlakuan denda Rp 48 miliar kepada Kepala Desa Kohod, Arsin, dan rekannya telah menimbulkan kemarahan. Meskipun beberapa orang mungkin melihat denda ini sebagai solusi, kami masih bertanya-tanya apakah hal itu benar-benar menyelesaikan masalah yang lebih luas.

Banyak dari kami meminta pertanggungjawaban komunitas yang lebih besar, tidak hanya untuk pejabat desa tetapi untuk semua yang terlibat dalam proyek tembok laut kontroversial yang sangat mempengaruhi kehidupan kami.

Tembok laut yang tidak sah sepanjang 30,16 kilometer telah menghalangi area penangkapan ikan tradisional kami, menimbulkan kekhawatiran lingkungan yang serius. Memancing bukan hanya mata pencaharian bagi kami; itu adalah cara hidup, yang terjalin dengan warisan budaya kami. Blokade yang diciptakan oleh tembok laut mengancam ekosistem laut yang telah mendukung komunitas kami selama generasi.

Kami tidak bisa mengabaikan implikasi jangka panjang dari gangguan lingkungan ini. Sebagai penjaga tanah dan laut, kami merasakan tanggung jawab yang mendalam untuk melindungi sumber daya ini untuk generasi mendatang.

Mengingat situasi tersebut, kami menuntut penyelidikan menyeluruh terhadap para perencana di balik proyek tembok laut. Masalah ini jelas melampaui pejabat desa, dan sangat penting untuk mengungkap siapa lagi yang mungkin berperan.

Jika kami ingin mencapai pertanggungjawaban yang sebenarnya, kami perlu melihat lebih tinggi dan mengungkapkan korupsi apa pun yang mungkin telah menyebabkan krisis lingkungan ini. Suara kami harus didengar, dan kami harus menuntut transparansi dalam cara kasus ini ditangani.

Protes publik telah muncul, menandakan tuntutan kolektif untuk tindakan yang lebih kuat dari pemerintah. Kami ingin melihat komitmen terhadap pengelolaan lingkungan, terutama di area yang langsung mempengaruhi komunitas kami.

Respons saat ini terasa tidak memadai, dan sangat penting bagi kami untuk mengadvokasi sistem yang mengutamakan kesejahteraan warganya daripada sanksi finansial. Kami berhak tahu bahwa mereka yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan kami akan dimintai pertanggungjawaban.

Kasus ini telah memicu diskusi berarti tentang tata kelola, hak atas tanah, dan perlindungan ekosistem laut. Sebagai anggota komunitas, kami harus bersatu untuk memastikan kekhawatiran kami diakui dan dianggap serius.

Saatnya untuk mendorong masa depan di mana suara kami penting, di mana kesehatan lingkungan dan pertanggungjawaban komunitas berjalan seiring. Bersama-sama, kita dapat bekerja menuju jalur yang lebih adil dan berkelanjutan untuk Desa Kohod.

Continue Reading

Berita Trending

Copyright © 2025 The Speed News Indonesia